BAB 2
Cessa memeluk Izama dari belakang,
papinya itu sedang membaca Koran. “Papi masih mikirin Cessa?” Tanya Cessa
manja.
“Papikan
selalu memikirkan Cessa.” Iza lega melihat anaknya tidak marah lagi. “Ahh..
ribet. Aku mau sepeda ducati pi.” Cessa nyengir.
“Buat
apa?” Iza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Baru kemarin anaknya putus dan
pagi ini sudah meminta yang aneh-aneh.
“
Mami baru pulang?” Cessa memeluk lengan Airi yang baru pulang dari swalayan.
“Iya.”
Airi tersenyum lembut.
“Mi,
papi nggak mau beliin aku ducati.” Cessa cemberut.
“Nanti
mami yang bujuk oke?” Airi mengelus rambut Cessa lembut.
“Makasih
mami.” Cessa mencium pipi Airi dan berlari ke area parkir, karena Beni sudah
menunggunya.
“Pi,
beneran nggak mau?” Airi menatap Iza tajam.
“Mami
sayang, bukannya papi nggak mau.” Iza menyuruh Airi duduk.
“Nggak
usah ngerayu. Kalau kamu nggak mau aku juga nggak mau.” Airi masuk ke rumah.
Iza mengacak rambutnya frustasi, Cessa pasti sengaja melakukannya.
****
“Katanya mau kenalin?” Tanya Beni saat
berjalan dengan Cessa di koridor kampus.
“Udah
kenal kan?” Cessa jutek.
“Ces.”
Angga berhenti di depan mereka.
“Kenapa?”
Cessa bingung.
“Pesenan
lho.” Angga memberikan bingkisan ke Cessa.
“Wahh..
makasih. Tapi, guekan belum kasih fotonya Ngga?” Cessa ragu.
“Lho
lihat dulu hasilnya Ces. Udah ya? Gue mau ke kelas sama Angga.” Beni dan Angga
pergi. Cessa membuka bingkisan dari Angga cepat. Dia tertegun, foto candid saat
di Paris. Tapi, dia tidak pernah difoto seperti ini.
“Ces,
lho ngapain disini sendirian?” Kiya menepuk pundak Cessa.
“Ehh..
nggak papa.” Cessa nyengir lucu.
“Lho
udah denger? Beasiswa Anggun dicabut?” Luna.
“Hah?”
Cessa kaget. Apa ini ulah papinya lagi.
“Gue
jadi inget ucapan bokap lho yang kalau Cessa nggak bisa miliki berarti yang
lain juga enggak.” Luna.
“Terus,
Bima juga dicabut beasiswanya. Lho nggak bakal dimusuhi anak-anak kok. Itukan
memang salah mereka, lho korbannya.” Kiya merangkul bahu Cessa dan membawanya
ke kelas.
****
“Ada anak baru. Dia ngaku pacarnya kak
Angga.” Syifa menunjuk bangku pojok depan.
“Emang
bener, mungkin. Gue pernah lihat mereka jalan bareng kok.” Jawab Cessa santai.
“Ohh
ya? Matanya sipit kayak kakakmu Ces. Sayang dia sombong.” Syifa cemberut.
“Mana
yang namanya Cessa?” pacar Angga itu berdiri.
“Gue.
Kenapa?” Cessa mengacungkan tangan.
“Ohh
lho ya? Orang yang merusak malam Minggu gue.” Pacar Angga itu mendorong tubuh
Cessa dan berlalu pergi.
“Dia
bukan anak desainer.” Kelvin menyahut.
“Terus
anak mana?” Cessa sudah emosi.
“Tenang
Ces.” Luna menenangkan.
“Dia
anak sekretaris.” Kelvin.
“Sekelas
sama gue dong? Siapa namanya?” Kiya sebal.
“Anggi
Kenward.” Kelvin pergi.
“Kenward?
Bukannya itu marganya Angga?” batin Cessa.
“Kenapa
Ces?” Luna.
“Nggak
papa.”
“Ayo
pulang? Ada kelas emang?” ajak Beni.
“Nggak
ada sih. Tapi, lho pulang dulu deh.” Cessa ingin melewati koridor fakultas
koki.
“Mau
ngapain? Jangan pulang malam. Hari ini ada les.” Beni mengingatkan. “Ayo Lun,
Ki. Duluan ya Syif?” Cessa pergi bersama kedua sahabatnya. “Kamu mau pulang
Syif?” Tanya Beni lembut.
“Iya.
Duluan Ben.” Syifa pergi dengan senyum merekah.
“Ngapain lewat sini? Muter tau.” Keluh
Kiya.
“Itu
Bima sama Anggun.” Luna menunjuk dua orang yang sedang menunduk sedih.
“Cessa
Bim.” Bisik Anggun.
“Ces?”
Bima dan Anggun mendekat.
“Ada
yang bisa gue bantu?” Cessa acuh.
“Kenapa
lho lakuin ini?” Anggun menangis.
“Apa?”
Cessa tau, pasti soal beasiswa.
“Lho
nggak terima Bima pacaran sama gue?” Anggun membentak Cessa.
“Loh,
gimana? Katanya gue beruntung pisah dari Bima? Lho hamil anak diakan?” Cessa
melihat Bima membelalakkan mata. Anggun kira, dia nggak tau kalau persoalan
hamil itu bohong.
“Apa
maksud kamu Ces?” Bima tidak mengerti.
“Tanya
dia aja. Dan satu lagi, kalau maksud lho soal beasiswa, gue nggak ikut campur.”
Cessa, Luna, dan Kiya berjalan pergi.
“Kamu
bohongin Cessa?” Bima menahan emosi yang sedang bergejolak di dalam dirinya.
“Aku
nggak mau kamu berpaling dari aku Bim.” Anggun menunduk.
“Dengerin
aku sayang, aku nggak bakal tinggalin kamu.” Bima menangkup wajah Anggun dengan
kedua tangannya.
“Maafin
aku udah jelek-jelekin kamu di depan Cessa. Aku nggak bermaksud begitu.” Anggun
berusaha tersenyum walau sekarang kepalanya pusing. Dia harus mengatakan apa nanti,
beasiswanya sudah dicabut.
“Kamu
cinta sama aku Bim?” Anggun memandang Bima.
“Aku
cinta sama kamu Nggun.” Bima memeluk Anggun.
****
Cessa berlari sambil menangis. Dia
tidak pergi, dia ijin ke toilet pada kedua sahabatnya. Dia melihat Bima
mengatakan cinta, dia melihatnya. Hati yang sudah pecah berkeping, menjadi debu
sekarang. Hatinya sakit, dia belum merelakan Bima sepenuhnya. Brukk..
“Sorry.”
Ucap Cessa sambil menghapus airmatanya.
“Kenapa
Ces?” Robi orang yang ditabrak Cessa.
“Nggak
papa.” Cessa tersenyum tapi terpaksa.
“Serius?
Mau cerita?” Robi mengelus rambut Cessa.
“Nggak
perlu. Gue nggak mau Luna marah.” Cessa cuek.
“Kenapa
Luna?” Robi bingung.
“Syif!!”
Cessa berlari mengejar Syifa yang berjalan ke mobilnya.
“Hei
Ces, kenapa? Kamu habis nangis?” Syifa menghapus sisa airmata Cessa. Cessa
hanya tersenyum dan menatap Syifa nanar.
“Ayo
duduk.” Syifa mengajak Cessa duduk di kursi belakang mobilnya. “Cerita sama aku.”
Syifa mengedikkan dagunya.
“Bima
bilang cinta ke Anggun Syif. Aku yang udah jadi pacarnya empat tahun aja nggak
pernah.” Cessa menangis lagi.
“Kalau
dia nggak pernah bilang cinta, kenapa kalian bisa pacaran?” Syifa bingung,
bukannya awal pacaran adalah menyatakan perasaan.
“Dia
hanya mengatakan sayang dan langsung nembak aku Syif. Mungkin, aku yang kepdan
dan langsung nerima dia.” Cessa menunduk.
“Mungkin,
tuhan emang nggak bolehin kamu sama dia. Pasti ada yang lebih baik dari dia
yang tuhan siapkan untuk princess di depanku ini. Udah, jangan sedih lagi ya?
Keep smile.” Syifa tersenyum.
“Makasih
Syif. Lho emang pendengar yang baik.” Cessa memeluk Syifa singkat.
“Buat
apa sih nangisin Bima? Dia nggak pantes kamu tangisin.”
“Iya.
Aku keluar deh. Kamu mau pulangkan?” Cessa mendorong pintu tanpa melihat kalau
ada yang terdorong pintu mobil Syifa.
“Woyy!!!
Lihat-lihat dong.” Bentak Anggi.
“Lho
kena? Sorry.. sorry.” Cessa memohon.
“Emang
ya, lho itu selalu ngerusak kebahagiaan gue.” Bentak Anggi lagi.
“Gue
ngerusak? Kita baru bertemu hari ini. Apa yang gue rusak? Cuma malam Minggu lho
kan? Gue nggak buang buku lho, gue nggak bunuh bonyok lho, gue nggak ngambil
permen lho. Terus, kebahagiaan apa yang gue ambil hah?” bentak Cessa, dia sudah
tidak bisa menahan emosinya sekarang.
“Jaga
mulut lho.” Angga datang dengan wajah dinginnya.
“Gue?
Gue ngomong apa adanya.” Cessa acuh.
“Nggak
usah bentak-bentak bisakan?” bentak Angga emosi.
“Dia
yang bentak gue duluan. Gue udah minta maaf karena nggak sengaja dorong dia
pakek pintu. Kenapa dia malah bentak gue dan bilang gue ngerusak kebahagiaan
dia? Kita baru ketemu sekarang, kenalan aja belum.” Cessa frustasi, semua
perkataannya benar.
“Tapi,
ngomong pelan bisa kan?” Angga datar.
“Lho
emang pacarnya sih, jadi salah nggak salah dibela terus. Manja namanya.” Cessa
berteriak tertahan di depan Anggi.
“Gue
udah bilangkan, jaga bicara lho.” Angga menatap Cessa tajam.
“Oke.
Sekarang gue tanya, kebahagiaan apa yang udah gue ambil?” Cessa menatap Anggi
meminta jawaban.
“Ayo
jawab.” Luna sudah berdiri di belakang Cessa bersama Kiya. Anggi hanya menunduk
tidak tau mau menjawab apa.
“Lihatkan?
Dia yang asal ngomong.” Cessa menatap Angga sambil tersenyum mengejek.
“Ayo
pulang.” Angga ingin menarik Anggi tapi ditahan Kelvin.
“Mau
lari dari masalah? Daritadi pacar lho bikin rusuh mulu.” Kelvin menatap dua
orang di depannya tajam.
“Dia
ngapain lho?” Angga datar.
“Dia
ngacak-acak kelas gue. Dia juga ngebentak Cessa. Dia saiko? Gue butuh alasan
soal itu.” Kelvin santai.
“Dia
bukan saiko, brengsek!!” Angga menonjok Kelvin emosi.
“Kelvin,
lho nggak papa?” Cessa berjongkok di samping Kelvin yang tersungkur.
“Nggak
papa.” Kelvin tersenyum sambil menatap Cessa dalam. Angga menarik Anggi pergi.
“Kenapa?”
Cessa salah tingkah.
“Lho
pulang sama siapa?”
“Sendiri.”
Cessa membantu Kelvin berdiri.
“Gue
anter ya?” Kelvin memohon.
“Gue
lagi pingin sendiri Kel.” Cessa tersenyum dan berjalan pergi.
****
Beni duduk di ruang tamu dengan Luna
dan Kiya. “Om Iza Ben yang cabut beasiswa itu?” Kiya memulai pembicaraan.
“Itu
usul rector Kiy. Prestasi mereka menurun drastic semester empat ini. Papi iya
aja, karena dia juga lagi kesel sama Bima.” Beni membaca buku tebal di
tangannya.
“Emang
daridulu Bima bodoh.” Luna sebal. Beni dan kiya tertawa keras.
“Lho
lagi galau Lun? Kok ngolok Bima bodoh.” Kiya.
“Iya.
P itu siapa sih Ben?” Luna merajuk.
“Gue
juga nggak tau Lun. Di kelas gue nggak ada nama P. Di kelas Robi juga nggak
ada. Gue juga lagi nebak-nebak.” Beni menutup bukunya.
“P
itu bikin gue galau. Gue emang terlalu pd ya?” Luna menunduk.
“Kalau
gue mikirnya Robi yang phpin lho. Dia sering muji lho, dia juga sering ngajak
lho keluar.” Kiya memberi pendapat. Beni diam, Robi tidak pernah begitu
sebelumnya.
“Gue
juga ngerasa begitu Ki. Kita ketemuan yang dia bahas Cessa terus. Apa mungkin
Cessa yang dia suka?” Luna menatap Kiya sedih, cintanya bertepuk sebelah
tangan.
“Mana
mungkin? Tapi, kalau iya, Cessa nggak bakal mau kok Lun. Dia nggak mungkin
pacaran sama orang yang disukai sahabatnya.” Beni menenangkan. “Siang semua?”
Robi muncul dari pintu utama. Luna dan Kiya berjalan pergi dan disaat yang bersamaan
Leon muncul.
“ Ngapain
lho kesini?” Beni jutek.
“Lho
lagi dapet? Main lah Ben.” Robi tertawa mengejek.
“Gue
mau tanya serius sama lho.” Beni menatap Robi serius.
“Nanya
Apa?” Robi duduk.
“Lho
suka sama Cessa?”
“Hah?”
Robi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Gue
nggak lagi bercanda.” Beni membuang muka, sepertinya tebakannya benar.
“P
itu bisa jadi princess kan? Panggilan sayang Cessa.” Leon menyahut.
“Gue
emang suka sama Cessa.” Robi menunduk. Prangg.. mereka semua menoleh dan menemukan
Luna tersenyum getir.
“Lun?”
Leon cemas.
“Om
Iza!!!” Luna berjalan menaiki tangga.
“Kenapa?
Gue salah suka sama orang?” Robi bertanya dengan wajah tidak bersalahnya.
“Cara
lho yang salah, memanfaatkan Luna? Pengecut banget Rob.” Beni mengacak
rambutnya frustasi.