Jumat, 13 November 2015

The New BAB..

BAB 2
          Cessa memeluk Izama dari belakang, papinya itu sedang membaca Koran. “Papi masih mikirin Cessa?” Tanya Cessa manja.
“Papikan selalu memikirkan Cessa.” Iza lega melihat anaknya tidak marah lagi. “Ahh.. ribet. Aku mau sepeda ducati pi.” Cessa nyengir.
“Buat apa?” Iza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Baru kemarin anaknya putus dan pagi ini sudah meminta yang aneh-aneh.
“ Mami baru pulang?” Cessa memeluk lengan Airi yang baru pulang dari swalayan.
“Iya.” Airi tersenyum lembut.
“Mi, papi nggak mau beliin aku ducati.” Cessa cemberut.
“Nanti mami yang bujuk oke?” Airi mengelus rambut Cessa lembut.
“Makasih mami.” Cessa mencium pipi Airi dan berlari ke area parkir, karena Beni sudah menunggunya.
“Pi, beneran nggak mau?” Airi menatap Iza tajam.
“Mami sayang, bukannya papi nggak mau.” Iza menyuruh Airi duduk.
“Nggak usah ngerayu. Kalau kamu nggak mau aku juga nggak mau.” Airi masuk ke rumah. Iza mengacak rambutnya frustasi, Cessa pasti sengaja melakukannya.
****
          “Katanya mau kenalin?” Tanya Beni saat berjalan dengan Cessa di koridor kampus.
“Udah kenal kan?” Cessa jutek.
“Ces.” Angga berhenti di depan mereka.
“Kenapa?” Cessa bingung.
“Pesenan lho.” Angga memberikan bingkisan ke Cessa.
“Wahh.. makasih. Tapi, guekan belum kasih fotonya Ngga?” Cessa ragu.
“Lho lihat dulu hasilnya Ces. Udah ya? Gue mau ke kelas sama Angga.” Beni dan Angga pergi. Cessa membuka bingkisan dari Angga cepat. Dia tertegun, foto candid saat di Paris. Tapi, dia tidak pernah difoto seperti ini.
“Ces, lho ngapain disini sendirian?” Kiya menepuk pundak Cessa.
“Ehh.. nggak papa.” Cessa nyengir lucu.
“Lho udah denger? Beasiswa Anggun dicabut?” Luna.
“Hah?” Cessa kaget. Apa ini ulah papinya lagi.
“Gue jadi inget ucapan bokap lho yang kalau Cessa nggak bisa miliki berarti yang lain juga enggak.” Luna.
“Terus, Bima juga dicabut beasiswanya. Lho nggak bakal dimusuhi anak-anak kok. Itukan memang salah mereka, lho korbannya.” Kiya merangkul bahu Cessa dan membawanya ke kelas.
****
          “Ada anak baru. Dia ngaku pacarnya kak Angga.” Syifa menunjuk bangku pojok depan.
“Emang bener, mungkin. Gue pernah lihat mereka jalan bareng kok.” Jawab Cessa santai.
“Ohh ya? Matanya sipit kayak kakakmu Ces. Sayang dia sombong.” Syifa cemberut.
“Mana yang namanya Cessa?” pacar Angga itu berdiri.
“Gue. Kenapa?” Cessa mengacungkan tangan.
“Ohh lho ya? Orang yang merusak malam Minggu gue.” Pacar Angga itu mendorong tubuh Cessa dan berlalu pergi.
“Dia bukan anak desainer.” Kelvin menyahut.
“Terus anak mana?” Cessa sudah emosi.
“Tenang Ces.” Luna menenangkan.
“Dia anak sekretaris.” Kelvin.
“Sekelas sama gue dong? Siapa namanya?” Kiya sebal.
“Anggi Kenward.” Kelvin pergi.
“Kenward? Bukannya itu marganya Angga?” batin Cessa.
“Kenapa Ces?” Luna.
“Nggak papa.”
“Ayo pulang? Ada kelas emang?” ajak Beni.
“Nggak ada sih. Tapi, lho pulang dulu deh.” Cessa ingin melewati koridor fakultas koki.
“Mau ngapain? Jangan pulang malam. Hari ini ada les.” Beni mengingatkan. “Ayo Lun, Ki. Duluan ya Syif?” Cessa pergi bersama kedua sahabatnya. “Kamu mau pulang Syif?” Tanya Beni lembut.
“Iya. Duluan Ben.” Syifa pergi dengan senyum merekah.
          “Ngapain lewat sini? Muter tau.” Keluh Kiya.
“Itu Bima sama Anggun.” Luna menunjuk dua orang yang sedang menunduk sedih.
“Cessa Bim.” Bisik Anggun.
“Ces?” Bima dan Anggun mendekat.
“Ada yang bisa gue bantu?” Cessa acuh.
“Kenapa lho lakuin ini?” Anggun menangis.
“Apa?” Cessa tau, pasti soal beasiswa.
“Lho nggak terima Bima pacaran sama gue?” Anggun membentak Cessa.
“Loh, gimana? Katanya gue beruntung pisah dari Bima? Lho hamil anak diakan?” Cessa melihat Bima membelalakkan mata. Anggun kira, dia nggak tau kalau persoalan hamil itu bohong.
“Apa maksud kamu Ces?” Bima tidak mengerti.
“Tanya dia aja. Dan satu lagi, kalau maksud lho soal beasiswa, gue nggak ikut campur.” Cessa, Luna, dan Kiya berjalan pergi.
“Kamu bohongin Cessa?” Bima menahan emosi yang sedang bergejolak di dalam dirinya.
“Aku nggak mau kamu berpaling dari aku Bim.” Anggun menunduk.
“Dengerin aku sayang, aku nggak bakal tinggalin kamu.” Bima menangkup wajah Anggun dengan kedua tangannya.
“Maafin aku udah jelek-jelekin kamu di depan Cessa. Aku nggak bermaksud begitu.” Anggun berusaha tersenyum walau sekarang kepalanya pusing. Dia harus mengatakan apa nanti, beasiswanya sudah dicabut.
“Kamu cinta sama aku Bim?” Anggun memandang Bima.
“Aku cinta sama kamu Nggun.” Bima memeluk Anggun.
****
          Cessa berlari sambil menangis. Dia tidak pergi, dia ijin ke toilet pada kedua sahabatnya. Dia melihat Bima mengatakan cinta, dia melihatnya. Hati yang sudah pecah berkeping, menjadi debu sekarang. Hatinya sakit, dia belum merelakan Bima sepenuhnya. Brukk..
“Sorry.” Ucap Cessa sambil menghapus airmatanya.
“Kenapa Ces?” Robi orang yang ditabrak Cessa.
“Nggak papa.” Cessa tersenyum tapi terpaksa.
“Serius? Mau cerita?” Robi mengelus rambut Cessa.
“Nggak perlu. Gue nggak mau Luna marah.” Cessa cuek.
“Kenapa Luna?” Robi bingung.
“Syif!!” Cessa berlari mengejar Syifa yang berjalan ke mobilnya.
“Hei Ces, kenapa? Kamu habis nangis?” Syifa menghapus sisa airmata Cessa. Cessa hanya tersenyum dan menatap Syifa nanar.
“Ayo duduk.” Syifa mengajak Cessa duduk di kursi belakang mobilnya. “Cerita sama aku.” Syifa mengedikkan dagunya.
“Bima bilang cinta ke Anggun Syif. Aku yang udah jadi pacarnya empat tahun aja nggak pernah.” Cessa menangis lagi.
“Kalau dia nggak pernah bilang cinta, kenapa kalian bisa pacaran?” Syifa bingung, bukannya awal pacaran adalah menyatakan perasaan.
“Dia hanya mengatakan sayang dan langsung nembak aku Syif. Mungkin, aku yang kepdan dan langsung nerima dia.” Cessa menunduk.
“Mungkin, tuhan emang nggak bolehin kamu sama dia. Pasti ada yang lebih baik dari dia yang tuhan siapkan untuk princess di depanku ini. Udah, jangan sedih lagi ya? Keep smile.” Syifa tersenyum.
“Makasih Syif. Lho emang pendengar yang baik.” Cessa memeluk Syifa singkat.
“Buat apa sih nangisin Bima? Dia nggak pantes kamu tangisin.”
“Iya. Aku keluar deh. Kamu mau pulangkan?” Cessa mendorong pintu tanpa melihat kalau ada yang terdorong pintu mobil Syifa.
“Woyy!!! Lihat-lihat dong.” Bentak Anggi.
“Lho kena? Sorry.. sorry.” Cessa memohon.
“Emang ya, lho itu selalu ngerusak kebahagiaan gue.” Bentak Anggi lagi.
“Gue ngerusak? Kita baru bertemu hari ini. Apa yang gue rusak? Cuma malam Minggu lho kan? Gue nggak buang buku lho, gue nggak bunuh bonyok lho, gue nggak ngambil permen lho. Terus, kebahagiaan apa yang gue ambil hah?” bentak Cessa, dia sudah tidak bisa menahan emosinya sekarang.
“Jaga mulut lho.” Angga datang dengan wajah dinginnya.
“Gue? Gue ngomong apa adanya.” Cessa acuh.
“Nggak usah bentak-bentak bisakan?” bentak Angga emosi.
“Dia yang bentak gue duluan. Gue udah minta maaf karena nggak sengaja dorong dia pakek pintu. Kenapa dia malah bentak gue dan bilang gue ngerusak kebahagiaan dia? Kita baru ketemu sekarang, kenalan aja belum.” Cessa frustasi, semua perkataannya benar.
“Tapi, ngomong pelan bisa kan?” Angga datar.
“Lho emang pacarnya sih, jadi salah nggak salah dibela terus. Manja namanya.” Cessa berteriak tertahan di depan Anggi.
“Gue udah bilangkan, jaga bicara lho.” Angga menatap Cessa tajam.
“Oke. Sekarang gue tanya, kebahagiaan apa yang udah gue ambil?” Cessa menatap Anggi meminta jawaban.
“Ayo jawab.” Luna sudah berdiri di belakang Cessa bersama Kiya. Anggi hanya menunduk tidak tau mau menjawab apa.
“Lihatkan? Dia yang asal ngomong.” Cessa menatap Angga sambil tersenyum mengejek.
“Ayo pulang.” Angga ingin menarik Anggi tapi ditahan Kelvin.
“Mau lari dari masalah? Daritadi pacar lho bikin rusuh mulu.” Kelvin menatap dua orang di depannya tajam.
“Dia ngapain lho?” Angga datar.
“Dia ngacak-acak kelas gue. Dia juga ngebentak Cessa. Dia saiko? Gue butuh alasan soal itu.” Kelvin santai.
“Dia bukan saiko, brengsek!!” Angga menonjok Kelvin emosi.
“Kelvin, lho nggak papa?” Cessa berjongkok di samping Kelvin yang tersungkur.
“Nggak papa.” Kelvin tersenyum sambil menatap Cessa dalam. Angga menarik Anggi pergi.
“Kenapa?” Cessa salah tingkah.
“Lho pulang sama siapa?”
“Sendiri.” Cessa membantu Kelvin berdiri.
“Gue anter ya?” Kelvin memohon.
“Gue lagi pingin sendiri Kel.” Cessa tersenyum dan berjalan pergi.
****
          Beni duduk di ruang tamu dengan Luna dan Kiya. “Om Iza Ben yang cabut beasiswa itu?” Kiya memulai pembicaraan.
“Itu usul rector Kiy. Prestasi mereka menurun drastic semester empat ini. Papi iya aja, karena dia juga lagi kesel sama Bima.” Beni membaca buku tebal di tangannya.
“Emang daridulu Bima bodoh.” Luna sebal. Beni dan kiya tertawa keras.
“Lho lagi galau Lun? Kok ngolok Bima bodoh.” Kiya.
“Iya. P itu siapa sih Ben?” Luna merajuk.
“Gue juga nggak tau Lun. Di kelas gue nggak ada nama P. Di kelas Robi juga nggak ada. Gue juga lagi nebak-nebak.” Beni menutup bukunya.
“P itu bikin gue galau. Gue emang terlalu pd ya?” Luna menunduk.
“Kalau gue mikirnya Robi yang phpin lho. Dia sering muji lho, dia juga sering ngajak lho keluar.” Kiya memberi pendapat. Beni diam, Robi tidak pernah begitu sebelumnya.
“Gue juga ngerasa begitu Ki. Kita ketemuan yang dia bahas Cessa terus. Apa mungkin Cessa yang dia suka?” Luna menatap Kiya sedih, cintanya bertepuk sebelah tangan.
“Mana mungkin? Tapi, kalau iya, Cessa nggak bakal mau kok Lun. Dia nggak mungkin pacaran sama orang yang disukai sahabatnya.” Beni menenangkan. “Siang semua?” Robi muncul dari pintu utama. Luna dan Kiya berjalan pergi dan disaat yang bersamaan Leon muncul.
“ Ngapain lho kesini?” Beni jutek.
“Lho lagi dapet? Main lah Ben.” Robi tertawa mengejek.
“Gue mau tanya serius sama lho.” Beni menatap Robi serius.
“Nanya Apa?” Robi duduk.
“Lho suka sama Cessa?”
“Hah?” Robi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Gue nggak lagi bercanda.” Beni membuang muka, sepertinya tebakannya benar.
“P itu bisa jadi princess kan? Panggilan sayang Cessa.” Leon menyahut.
“Gue emang suka sama Cessa.” Robi menunduk. Prangg.. mereka semua menoleh dan menemukan Luna tersenyum getir.
“Lun?” Leon cemas.
“Om Iza!!!” Luna berjalan menaiki tangga.
“Kenapa? Gue salah suka sama orang?” Robi bertanya dengan wajah tidak bersalahnya.

“Cara lho yang salah, memanfaatkan Luna? Pengecut banget Rob.” Beni mengacak rambutnya frustasi.

Rabu, 04 November 2015

Lanjutan Part 1

“Namanya Angga, Angga Neon Kenward.” Beni memperkenalkan lelaki tampan di depanku ini. Apa mungkin lelaki ini yang menjadi idola kampus nomor satu?
“Dia seangkatan sama kita?” bukan apa-apa, aku takut salah memanggilnya. “Dia satu tahun di atas kita. Masa nggak tau? Idola nomor satu di kampus?” Beni tersenyum menggoda ke arahku. Benarkan tebakanku, dia memang jauh lebih tampan dari Robi tadi. Bahkan cowokku juga kalah, kalian belum ku kasih tau. Cowokku mengambil jurusan koki, Bima namanya. Kami sudah berpacaran sejak kelas dua SMA. Dia tipe cowok setia dan pengertian bagiku.
“Nggak usah pakek embel-embel. Angga aja. Setiap Hari Sabtu sampai Kamis jam enam sore.” Ucap Angga tanpa mau memandangku, sangat tidak sopan. Tadi dia bilang apa? Sabtu? Itukan berarti malam Minggu. Jadwal kencanku dengan Bima.
“Kenapa harus Sabtu? Nggak ada yang lain?” protesku tidak terima. Enak saja, kalau dia jomblo dan ngenes, jangan ajak yang lain dong.
“Gue rela ngorbanin waktu pacar gue buat lho? Impaskan?” Tanya Angga dengan menatap mataku tajam. Kuralat perkataanku tadi, lebih baik bicara tanpa menatap mataku saja. Ehh.. dia tidak jomblo ternyata. Kalau dia jomblo, aku pasti sudah pingsan. Idola nomor satu di kampus masa jomblo? Nggak asik dong.
“Yaudah.” Jawabku pasrah, aku yakin kalau papi juga pasti setuju.
“Pagi Cessa? Kamu belum masuk?” sapa Bima yang sudah muncul dihadapanku, tersenyum dengan senyum andalannya.
“Ohh iya ya Ces? Apa dosennya ijin?” sahut Syifa yang daritadi terdiam mendengar perdebatan kecilku dengan Angga, si senior jutek ini.
“Iya mungkin. Kamu nggak ada kelas Bim?” aku bertanya pada Bima yang memandang Angga dengan pandangan bertanya, siapa dia.
“Udah selesai Ces. Cuma nulis resep terus keluar. Kamu ada acara nggak setelah ini?” Bima kembali memandangku dengan tatapan datar? Kemana tatapan penuh cintanya? Ohh ayolah Cessa, berfikir positif seperti nasehat Syifa.
“Yaudah. Kita pergi dulu.” Beni dan Angga pergi meninggalkan kami bertiga. “Aku nggak ada acara. Kamu mau ajak aku jalan?” tanyaku percaya diri.
“Iya. Bisakan? Temenin aku belanja buat resep baru tadi.” Ucapan Bima sukses membuat moodku hancur berantakan. Kalau dia sudah berkutat dengan resep makanan pasti aku dilupakan.
“Oke deh. Aku masuk ya? Itu Bu Nada udah jalan kesini.” Aku tersenyum pada Bima dan mengajak Syifa masuk kelas.
****
          Aku sudah berjalan di bagian bahan kue bersama Bima. Ternyata bukan dia yang melupakan aku tapi sebaliknya. Aku sibuk sendiri sambil melihat resep di iphoneku.
“Jadi siapa yang mau masak?” sindir Bima membuat aku nyengir.
“Hehe.. aku juga udah lama nggak berkutat sama dapur Bim. Kamu udah selesai?” aku menunjuk troli yang di bawanya.
“Udah kok. Ayo ke kasir. Kita bayar belanjaannya, aku yang bayar.” Bima mengedipkan sebelah matanya.
“Hai Bima? Hai Cessa?” aku menoleh ke sumber suara yang ternyata di belakang kami, dia juga sedang antre membayar.
“Hai Anggun.” Aku tersenyum kecil melihat tatapan bersalah darinya. Memang dia punya salah sama aku? Seingatku enggak deh.
“Kalian mau buat kue?” Anggun menunjuk troli kami.
“Tadinya aku yang belanja buat praktek resep tadi. Ehh.. malah dia yang asik sendiri.” Bima berkata dengan santainya tanpa melihat perubahan raut mukaku. Aku kamu? Apa mereka sangat dekat? Mereka seperti orang pacaran? Tapi aku yang pacarnya Bima.
“Mbak, sudah selesai.” Ucapan penjaga kasir membuyarkan pikiran burukku. “Ahh iya. Berapa mas?” ucapku kikuk.
“Enam ratus lima puluh dua ribu.” Ucap mas itu sambil tersenyum ramah. “Bim, aku tunggu sambil duduk ya?” telingaku panas mendengar gurauan mereka berdua yang seperti tidak peduli dengan kehadiranku.
“Iya.” Jawab Bima acuh padaku. Aku duduk dengan lesu, tapi kembali kutegapkan tubuhku begitu melihat pemandangan langka yang ditangkap mataku. Di toko baju wanita, ada Angga yang sedang menemani seorang wanita cantik dengan kulit sedikit kecoklatan, mungkin dia suka plahraga. Apa dia pacarnya? Bisa jadi. Tadi dia marah-marah karena aku protes soal hari lesku. Dia terlihat sangat lelah dan mengantuk, apa pacarnya tidak merasakan. Wait… kenapa aku peduli? Terserah dia saja. Aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Pacar yang aku tunggu malah asik makan es krim di kedai dekat meja kasir dengan canda tawa. Kalau memang dia sudah bosan denganku, kenapa tidak minta putus saja? Aku tau aku gadis membosankan. Air mata yang sedari tadi kubendung leleh sudah. Aku menghentikan taxi dan melaju ke rumahku.
****
          “Kenapa Ces?” Tanya Beni begitu aku sampai di lantai tiga rumahku. “Ben.” Aku berlari memeluknya yang tengah asik bermain PS di ruangan free itu.
“Ada apa? Siapa yang berani bikin kamu nangis?” Tanya Beni dengan nada khawatir.
“Apa mungkin, Bima sudah bosan denganku?” tanyaku sambil memandangnya nanar.
“Apa maksudmu? Apa yang dia lakukan princess?” Beni menghapus airmata yang mengalir di pipiku.
“Dia melupakanku saat bertemu Anggun. Bahkan, dia makan es krim sendiri tanpa peduli aku yang menunggunya lama.” Aku kembali sesenggukan dan memeluk Beni. Aku tidak peduli tshirt yang digunakannya basah. Aku sakit hati sekarang, yang kutau Bima adalah sosok lelaki setia yang anti selingkuh. Apa aku salah menilainya?
“Kenapa Cessa nangis?” suara papi membuatku melepas pelukan hangat Beni. “Pi? Cessa kurang apa sih?” aku berganti memeluk papi yang baru keluar dari ruang koleksiku dan Beni.
“Kamu nggak kurang apapun princess, kamu sempurna di mata papi.” Papi mencium pucuk kepalaku sayang.
“Aku bisa apa kalau Bima selingkuh?” aku menatap papi yang sedang menahan emosinya. Aku tau karena wajahnya memerah dengan rahang terkatup rapat.
“Siapapun yang berani menyakiti kamu, dia harus siap mati di tangan papi.” Papi melepas pelukanku dan mengkode Beni untuk mengikutinya turun. Aku yakin, papi pasti merencanakan sesuatu. Aku berjalan gontai ke kamar dan meneruskan tangisku yang sempat terhenti.
“Cessa cantik!!! Ayo jalan-jalan.” Tiba-tiba, aku mendengar Luna berteriak di samping telingaku.
“Suara lho berisik.” Bentakku marah. Dia terdiam mendengar bentakanku. “Sorry Lun. Gue lagi bad mood banget.” Aku duduk di sampingnya.
“Nggak papa Ces. Soal Bima ya? Gue tadi denger Om Iza marah-marah di ruang kerjanya. Dia sempet bentak gini, kalau Cessa nggak bisa miliki dia, jangan harap orang lain bisa.” Luna memelukku menenangkan. Apa yang akan papi lakukan pada Bima.
“Makan siang!!” teriak mami ceria. Mungkin dia baru belanja di butik langganannya. Aku dan Luna berlari menuruni tangga dan tersenyum lebar begitu menyadari ada Leon, sepupu tertampanku duduk manis di samping Kiya.
 “Leo!!” teriakku berlari memeluknya dari belakang.
“Hai princess?” sapa Leon hangat padaku, sejenak aku melupakan masalah Bima.
“Kapan pulang dari Aussie?” tanyaku sambil duduk di kursi kosong.
“Baru kemarin.” Leon tersenyum sambil menatapku sedih, dia pasti sudah tau perihal Bima.
“Ohh iya Ces, gimana guru privatnya?” Tanya mami sambil mengambilkan nasi untuk papi.
“Dia jutek, nyebelin.” Jawabku kesal, memang benarkan?
“Tapi ganteng kan?” goda mami sambil memainkan bulu mata lentiknya. “Percuma. Aku nggak tertarik.” Jawabku acuh.
“Dan lebih tertarik sama lelaki tukang selingkuh?” sambung papi yang membuatku tidak napsu makan. Aku berdiri dan berjalan menaiki tangga. “Cessa!!!” teriak papi, mungkin dia merasa bersalah. Aku masuk ke ruang koleksi dan langsung disambut dengan lukisan keluarga kami yang sedang tertawa lebar. Di sampingnya ada lukisan dimana papi sedang meminum teh dan tangan satunya membawa Koran. Aku tersenyum mengingatnya, itu adalah lukisan pertama hasil karya Beni dan aku sepulang dari Paris. Karena sangat senang bisa melukis, kami berduet melukis papi yang tidak menyadari keusilan kami.
“Cessa?” papi masuk dan berdiri di sampingku. Aku berjalan keluar dari ruangan itu dan masuk ke kamar, tidak lupa mengunci pintu agar papi tidak bisa masuk. Aku tau, Bima tidak seperti yang aku pikirkan, tapi bisakan menghargaiku sedikit? Apa mereka tidak tau kalau aku sedang sakit hati? Lamunanku terbuyar ketika mendengar iphoneku berbunyi. Syifa yang menelepon,
“Hallo assalamualaikum?” jawabku dengan suara serak.
“Waalaikum salam. Kamu udah putus sama Bima Ces?” Tanya Syifa santai. “Kok nanya gitu?” tanyaku sedikit ketus.
“Kamu di rumah? Bisa ke kampus sekarang? Aku lihat Bima dan Anggun..” sebelum Syifa menyelesaikan bicaranya, aku langsung menyambar tas kecil selempangku dan berlari menuruni tangga. Meninggalkan papi yang masih duduk di ruang free.
“Mau kemana Ces?” Tanya Kiya yang sepertinya baru pulang.
“Ada urusan.” Aku memanggil Rubby dan menyuruhnya ngebut menuju kampus.
****
          Aku berjalan cepat menuju dapur kampus, tempat anak-anak fakultas koki bercengkrama. Aku berhenti melangkah, di depan pintu masuk ada Bima dan Anggun yang sedang berpelukan mesra.
“Lagi asik ya?” tanyaku pura-pura kuat.
“Ce.. Cessa?” ucap Anggun terbata-bata, iyalah. Ketahuan selingkuh siapa yang nggak malu?
“Lagi sibuk ya? Sorry gue ganggu. Mau cari pacar gue yang katanya setia lihat nggak?” aku berjalan pergi setelah mengatakan itu. Menangis lagi ketika Bima berhasil mencekal tanganku.
“Dengerin aku dulu.” Kata Bima sambil membalik tubuhku yang membelakanginya.
“Aku udah pernah bilangkan? Kalau kamu udah bosan sama aku, putusin hubungan kita. Aku nggak suka diselingkuhin.” Bentakku pada Bima.
“Aku takut kamu sakit hati. Aku bukannya bosan, kamu memang bukan typeku Ces.” Kata Bima sambil menunduk. Bukan typenya ya? Ohh.. aku baru ingat, selama pacaran, dia memang tidak pernah mengatakan kalau mencintaiku.
“Lalu?” tanyaku acuh.
“Aku pingin punya pacar yang jago masak, bukan gambar. Karena cita-citaku ingin mengelola restoran bersama istriku kelak.” Jawab Bima bergetar. Aku tau, dia hanya takut kalau papi murka.
“Maksud kamu koki? Jadi, kamu milih Anggun yang calon koki? Inget ya Bim, walaupun aku nggak masuk di fakultas koki, tapi masakanku lebih enak dari siapapun. Bahkan, dosen yang mengajar kalian pun kalah sama masakanku.” Aku membentaknya lagi, alasan sepele bisa membuat Bima berpaling? Baiklah, mungkin dia memang bukan jodohku.
“Kamu jangan sombong Ces. Anggun juga pintar memasak. Bahkan dia punya sifat lembut yang melebihi kamu.” Ucapan Bima barusan seperti kutukan bagiku. Lembut? Siap-siap saja kehilangan dia karena kelembutannya. Seorang perempuan juga harus kuat, mengingat banyak pelecehan sekarang.
“Oke. Berarti kita putus.” Aku membalikkan badan dan berlari pergi. Hatiku sangat sakit, sakit melihat dia selingkuh. Aku juga wanita yang mudah rapuh.
****
          Aku berjalan gontai masuk ke rumah. Ku dengar suara ramai di ruang keluarga, mungkin para pemuda sedang berkumpul. Aku menaiki tangga pelan dan menemukan Beni, Luna, Kiya, Leon, Robi, dan ohh tunggu. Angga juga, berarti dia sahabatan dengan Beni.
“Malam semua?” sapaku membuat ruangan itu sepi.
“Cessa? Lho kenapa?” Beni berjalan mendekatiku. Bagaimana tidak? Baju putihku penuh dengan darah. Aku tidak membunuh Bima ataupun Anggun. Tapi, aku baru saja berburu bersama Rubby. Kekasih tampanku yang selalu siaga.
“Gue? Emang kenapa?” aku balik bertanya.
“Darah dimana-mana? Lho habis mutilasi orang?” Tanya Beni semakin ngawur. Kulihat sekitar, Robi menatapku nanar, Angga hanya sedikit tersenyum. Dia pasti menertawakan kekonyolanku. Kedua sahabatku juga menatapku sedih. Sedangkan Leon membuang muka.
“Iya. Pinginnya sih mutilasi lho. Ehh.. malah Syifa korbannya.” Aku duduk di samping Leon, karena itu kursi yang kosong.
“Bohong banget.” Jawab Beni yang juga ikutan duduk.
“Pada ngapain sih? Rame amat?” tanyaku mengalihkan topic.
“Main truth or dare.” Jawab Luna semangat. Sejujurnya, aku sangat membenci permainan ini.
“Gue ikut.” Ucapku membuat semua saling pandang. Aku pasti akan dikerjai habis-habisan.
“Robi.” Ucap Luna girang setelah botol itu menunjuk Robi.
“Truth or dare?” Tanya Kiya sambil tersenyum.
“Truth.” Ucapan Robi membuatku melongo. Dia memilih pertanyaan, kulihat Luna sudah siap bertanya.
“Inisial cewek yang lho suka?” tanyaku to the point membuat semua orang menyeringai licik.
“P.” jawaban singkat keluar dari mulut Robi. Luna langsung menunduk lesu. “Oke. Lanjut.” Ucap Leon mencairkan suasana.
“Beni yang kena.” Leon menyeringai licik.
“Heh, gue yang Tanya.” Robi membentak Leon sehingga dia terdiam.
“Berapa jumlah cewek lho?” Robi pintar sekali, seingatku masih enam.
“Gue jomblo.” Beni menjawab santai tapi mampu membuat semua bengong. “Mana mungkin?” protes Leon.
“Gue emang lagi fokus sama satu cewek.” Beni mengedip ke arahku.
“Percaya aja. Daripada panjang.” Ucapku membuat Beni memutar botolnya cepat.
“Luna!” pekik Kiya sambil tersenyum lebar.
“Kenapa lho suka sama Robi?” pertanyaan Beni menuai protes besar dari miss pd itu.
“Kan gue belum milih.” Luna sebal.
“Gue yakin, lho nggak mungkin milih dare kalau gue yang megang kendali. Udah deh, buruan jawab.” Beni menyeringai melihat muka kepiting Luna.
“Dia ganteng.” Celetuk Luna membuat kami semua tertawa, kecuali Angga. Entahlah, cowok itu mungkin sudah putus urat tawanya
 “Ayo lanjut.” Ucap Robi membuang rasa gugupnya.
“Cessa!!” pekikan Luna membuatku tersentak. Aku harus pilih apa sekarang? “Truth aja deh.” Jawabku lesu. Kalau dare, takutnya dia suruh aku makan gorengan, makanan yang paling aku hindari.
“Lho darimana? Apa yang udah terjadi?” pertanyaan Luna membuatku terdiam lama.
“Buruan deh.” Ucap Angga datar.
“Gue dari kampus, habis mutusin Bima.” Ucapku lirih tapi masih mereka dengar.
“APA???? Lho serius??” teriak Luna kaget begitupun Kiya. Aku melihat Robi tersenyum lebar dan Angga juga sedikit tapi. Kenapa dia? Senang melihatku menderita?
“Kok bisa?” Kiya menyambung.
“Privasi. Mana? Gue yang putar.” Aku memutar botol dan berhenti tepat di depan Angga.
Aku menyeringai licik, “Truth or dare?” tanyaku bersemangat.
“Dare.” Angga memilih tantangan. Aku harus memberinya tantangan apa? “Lukis wajah gue, sehari harus jadi. Besok les kan? Gue mau besok.” Ucapanku membuatnya melotot tidak percaya.
“Sehari? Lho gila. Gue nggak punya foto lho.” Ucap Angga sebal walaupun dengan wajah dinginnya.
“Siapa suruh milih dare? Nanti gue kasih fotonya yang paling bagus, deal?” ucapku tak terbantahkan.
“Oke, gue nyerah.” Angga menunduk lesu. Sebenarnya aku ingin dia memilih truth agar tau siapa wanita itu. Ehh.. kenapa aku jadi penasaran? Lupakan Cessa.
“Cessa?” panggilan papi membuat semua orang menoleh ke ujung tangga. Drrt.. drrt.. tepat waktu.
“Hallo? Ini siapa?” jawabku sambil berjalan ke kamar, meninggalkan papi yang mematung.
“An.. Anggun.” Jawab si penelepon gugup. Anggun? Untuk apa dia meneleponku?
“Mau apa?” tanyaku jutek.
“Gue mau minta maaf Ces. Bima ninggalin lho karena gue hamil.” Jawab Anggun merasa bersalah.
“Apa?? Lho jangan ngaco deh.” Bentakku tidak terima.
“Gue serius kok Ces. Gue emang hamil anak Bima. Lho beruntung putus sama dia, karena dia nggak sebaik yang lho kira.” Anggun menangis. Aku menjatuhkan iphone dan tubuhku. Aku harus percaya atau tidak? Mana mungkin Bima begitu? Aku segera mengambil iphone dan menelepon Rubby di bawah.
“Iya nona?” jawab Rubby cepat.
“Cari tau apa bener Anggun hamil.” Perintahku lalu mematikan sambungan. Aku berjalan keluar dengan lemas.
“Kenapa lagi Ces?” Leon bertanya cemas.
“Kayaknya papi mau ngomong.” Aku menunjuk papi yang duduk di tangga. “Papi mau ngomong apa?” aku menepuk pundaknya pelan.
“Ayo ke ruang kerja papi.” Aku berjalan mendahului papi yang ingin merangkulku.
****
          “Kamu marah princess?” Tanya papi begitu masuk di ruang kerja. “Kelihatannya gimana?” tanyaku balik.
“Papi hanya..” ucapan papi aku potong begitu saja.
“Aku nggak permasalahin soal papi yang jelek-jelekin Bima kok. Udahlah, lupain aja kejadian ini.” Aku berjalan keluar diiringi tatapan nanar mami yang berdiri di depan ruangan bersama Beni.
“Nona Cessa?” panggilan Rubby membuatku menoleh cepat.
 “Gimana Rub?” aku mendekat. Dia membisikkan sesuatu di telingaku.
“Kamu yakin Rub?” aku mengumpat-umpat dalam hati.
“Iya nona. Informasi ini akurat.” Rubby pamit pergi. Aku harus bagaimana?
****

          Beni langsung berbaring di sampingku begitu Angga dan Robi pulang. Leon memang masih tinggal disini. Ada beberapa kamar tamu di belakang rumah, rumah dua tingkat khusus kamar tamu.
“Jangan bersikap gini ke papi.” Beni memelukku yang juga berbaring.
“Gue bersikap gimana? Kan udah suruh lupain.” Memangkan? Aku sudah memaafkan papi.
“Papi nggak berangkat kerja hari ini Ces. Seharusnya setelah makan siang tadi dia meeting, tapi gagal karena kamu marah.” Beni mengelus rambutku.
“Aku nggak marah Ben. Cuma kecewa aja papi nggak bisa jaga perasaan aku.” Aku menangis lagi.
“Kenapa kamu bisa putus sama Bima?” Beni mengalihkan pembicaraan, inilah Beni. Begitu aku menangis, pasti langsung mengerti.
“Anggun, cewek yang pernah suka sama lho itu ngrebut cowok gue.” Aku menerawang. Setahun yang lalu, tepat saat aku masuk kampus, Beni memang idola kampus juga. Anggun adalah perempuan pertama yang menyatakan perasaan ke Beni.
“Apa dia mau balas dendam?” pertanyaan Beni membuatku menggeleng cepat. Bukan itu alasannya.
“Bukan itu Ben.” Beni mengernyit bingung kemudian sibuk berpikir lagi.

Ini adalah post pertamaku.. tolong dibaca ya..

SEPENGGAL KISAH
BAB 1
          Aku terbangun dari tidur nyenyakku menyadari ada yang berbaring di sampingku. Ini dia kembaranku, tapi beda jauh wajahnya dengan wajah barbieku. Kenapa Barbie? Karena aku memang sangat mirip dengan boneka cantik itu. Alis tebalku, bulu mata lentikku, iris mata biruku, hidung mancungku, pipi chubbyku, bibir tipis yang selalu merah merona tanpa polesan lipstick atau lipgloss, dan kulit putih diluar orang normal. Papi memang keturunan campuran, jadi wajahku sedikit kebule-bulean. Sedangkan yang berbaring disampingku ini adalah saudara kembarku, Beni Haken Abraham. Laki-laki dengan rambut kecoklatan ala artis korea, mata sipit, kulit putih, dan wajah tampan mempesonanya.
“Ces, lho mau bantu gue?” Tanya Beni dengan puppy eyesnya. Aku selalu sebal setiap dia menunjukkan itu.
“Bantuin apa?” aku duduk dan menanggapinya cuek.
“Kenal Syifa nggak?” dia duduk disampingku dengan wajah berbinar. Oke, radar keplayboyannya salah sasaran kali ini.
“Lho mau jadiin dia target Ben? Dia anaknya alim lho.” Aku serius menanggapi sifatnya kali ini. Masalahnya, Syifa adalah gadis alim dengan jilbab yang selalu melekat di kepalanya. Denger-denger, dia keturunan orang Arab gitu. Pastinya cantik, dengan mata hitam legam dan tatapan tajamnya membuat semua lelaki memujanya, ingat! Hanya memuja, karena takut dengan matanya. “Gue mau nyoba aja Cessa cantik.” Beni tersenyum penuh arti padaku.
“Gue kenalin nanti.” Aku beranjak ke kamar mandi untuk siap-siap ke kampus pagi ini. Sambil mandi, aku ceritakan tentang istanaku ini. Papiku, Izama Abraham adalah seorang lelaki tampan yang memiliki perusahaan yang bekerja di bidang desain grafis. Semacam mendesain berbagai bangunan yang dipesan klien. Dia adalah papi yang sangat protectif, aku sebagai putri satu-satunya harus rela didampingi seorang bodyguard muda yang umurnya baru 25 tahun dengan nama Rubby. Berbeda jauh dengan mamiku, dia bernama Airi Abraham. Mamiku adalah wanita paling cantik dan sabar sedunia. Dia tidak pernah marah denganku atau Beni yang senang membuat ulah. Tidak jarang dia harus pergi ke kampus karena menerima panggilan dari dosen akibat kejailanku. Rumahku, tentu saja sangat besar. Tapi jangan berfikir desainnya berupa bangunan ala Eropa atau mana saja, luar negeri maksudku. Rumahku adalah rumah bertingkat tiga dengan semua bagian rumah dibangun dari kayu, termasuk lantai yang selalu aku injak ini. Semua ruangan dipenuhi dengan ukiran-ukiran indah seperti keraton. Berbagai tumbuhan dan bunga menghiasi setiap ruangan cantik ini. Di bagian paling bawah, ada ruang tamu, ruang makan, dapur, dua kamar mandi, tak lupa juga ruang kerja papi. Kenapa paling bawah? Karena di lantai dasar sepi, jarang ada yang berkegiatan disana. Lantai dua, ada kamar utama alias kamar papi dan mamiku. Juga ruang keluarga tempat kami berkumpul, dan dua kamar tidur yang ditempati oleh dua sahabatku. Mereka adalah Luna dan Kiya, anak sahabat papi yang rumahnya ada di Jakarta. Kalian belum tau ya? Rumahku ini terletak di Bandung. Dilantai dua juga ada ruangan khusus kami anak-anak muda. Ruang gim, ruang music, dan ruang belajar dengan perpustakaan kecil di dalamnya. Lantai ketiga, kalian pasti tau. Tiga kamar khusus untuk anak tersayang. Tentu saja kamarku, kamar Beni, dan kamar khusus karyaku dan Beni. Disetiap kamar tidur dilengkapi dengan kamar mandi dan perlengkapan yang kami butuhkan. Sekarang, aku jelaskan tentang kuliah. Aku mengambil jurusan desainer, tapi tidak jarang juga ikut di kelas arsitek. Kenapa diperbolehkan? Karena 80% pemegang dana terbesar kampusku adalah papi. Beni, dia kuliah jurusan kedokteran. Dia ingin menjadi dokter anak dan psikolog. Entahlah bagaimana cara dia memilih nanti, katanya dia hanya perlu siap di dua bidang itu. Dia juga pintar menggambar, bahkan, desain rumah masa depannya sudah terpasang rapi di dinding kamar khusus dilantai tiga. Rumah masa depanku juga sudah ku gambar, tinggal membangunnya. Aku lupa, disetiap kamar menggunakan kunci berkode. Jadi, kalau dikunci hanya pemiliknya saja yang bisa masuk. Lanjut, Luna, sahabatku yang bawel dan memiliki tingkat kePDan tinggi itu mengambil jurusan dokter kandungan. Entahlah, mungkin kalau ada yang melahirkan akan dia ajak senam poco-poco. Dan Kiya, dia mengambil jurusan sekretaris. Tidak heran, dia memiliki postur tubuh tinggi dengan badan proporsional bak model. Cantik, pasti. Tapi tetap, Cessa Liana Abraham nomor satu. Aku menuruni tangga dengan tergesa-gesa, meninggalkan kamarku yang penuh dengan mawar hitam dan putih. Bunga kesukaanku adalah dua bunga itu. Dan kalian tau apa bunga yang paling kubenci? Mawar merah.
“Ayo sarapan semua!” teriakan mami menggelegar di rumah kami.
“Tan, bangun jam berapa tadi?” Tanya Luna yang sudah bertengger manis di samping Kiya.
“Jam tiga pagi. Kenapa?” Tanya papi tanpa mengalihkan pandangan dari gadged canggihnya yang selalu tau setiap gerak-gerik seluruh penghuni rumah itu.
“Om juga jam segitu?” lanjut Kiya yang kuyakini tidak tau arah pembicaraan Luna, dia sedikit lola.
“Satu jam lebih siang, jam empat.” Papi menyeruput teh melatinya.
“Kenapa? Kalian mau bantu mami masak?” aku duduk di samping Beni yang hanya mendengarkan.
“Yang ada, gue lho cekik entar. Dapur kesayangan lho itu bakal jadi pesawat rusak.” Luna cekikikan. Aku menatap Luna tajam, awas saja kalau itu sampai terjadi. Dapur adalah ruangan favorit keduaku setelah kamar tidurku. Dapur di desain dengan hiasan gambar mawar putih dan hitam karena aku sangat suka memasak.
“Lho harus bisa masak Lun, suami lho nanti makan apa?” Kiya memulai ceramah paginya.
“Kan ada ART? Buat apa pusing masak?” jawab Luna santai. Aku terkikik pelan melihat wajah Kiya pahit.
“Udah. Ngobrolnya dilanjutin nanti lagi.” Mami menengahi percakapan panas kami.
          “Pi? Rubby udah makan belum?” tanyaku pada papi yang akan berangkat kerja. Semua pegawai di rumahku tinggal di paviliun yang sudah disediakan papi.
“Udah. Kamu berangkat kapan?” papi mencium keningku singkat, kebiasaannya sebelum berangkat kerja.
“Nanti jam delapan.” Aku berjalan ke depan rumah dan menemukan Kiya serta Luna yang sedang tertawa di bangku taman bunga kami.
“Ngobrolin apaan? Seru amat.” Aku langsung duduk diantara mereka yang mengomel tidak jelas.
“Lho tau Ces? Robi ngajak gue kenalan.” Luna tersenyum dengan wajah pdnya. Robi Daia Wijaya, sahabat Beni yang selalu ramah pada siapa saja. Tapi, belum memiliki pacar karena dia jarang berkenalan dengan wanita, termasuk aku dan dua sahabatku ini. Dia adalah idola kampus setelah kakak angkatan kami yang tidak kuketahui nama dan wajahnya.
“Terus?” tanyaku cuek.
“Dia ramah banget Ces.” Luna makin bersemangat. Bukannya Robi selalu begitu? Ramah pada setiap orang.
“Bukannya Robi selalu ramah sama siapa aja?” Tanya Kiya bloon, dia tidak paham situasi, tidak mengerti kalau sahabatnya ini sedang kasmaran dan terlalu pd.
“Ya emang. Tapi, gue jarang lihat dia senyum ke cewek.” Luna masih yakin pada pendiriannya.
“Gue juga pernah disenyumin Lun.” Kiya menjulurkan lidahnya. Aku tertawa keras mendengar ocehan Kiya.
“Ayo berangkat. Nanti pasti macet dijalan.” Aku berdiri dan berjalan memasuki mobil ala artis hollywood yang panjangnya sepuluh meter itu. Tapi tenang, ini mobil khusus yang dipesan papi, jadi tidak sepanjang biasanya.
****
          Luna berjalan bersemangat di depanku dan Kiya. “Hai?” sapa Robi yang tiba-tiba muncul di depan kami dengan senyum mautnya.
“Ha.. Hai Robi.” Jawab Luna gugup.
“Lho belum sarapan Lun? Kok gagap gitu?” Robi bertanya masih dengan senyumnya. Aku dan Kiya terkikik pelan menyadari ketidak pekaan lelaki di depannya ini.
“Udah kok. Malah habis dua piring.” Celetukku membuat Robi menoleh kepadaku. Dia terdiam cukup lama, terpesona mungkin? Hari ini aku memakai rok hitam balon dengan bulatan putih menghiasi setiap bagiannya, kaos putih dengan gambar bunga mawar yang seperti sketsa, dan juga kalung hitam dengan besi yang menonjol kecil-kecil melekat di leherku tanpa ada ruang. Tapi aku bukan anjing, rambut hitam sepinggang ku gerai bebas dengan polesan make up tipis. Semua pakaianku memang didominasi warna hitam dan putih.
“Ehh, kok gue nggak pernah lihat? Kenalin, Robi.” Robi mengulurkan tangannya padaku sehingga membuat Luna menghapus senyum manis dari wajahnya.
“Dia Cessa.” Luna menurunkan tangan Robi yang diulurkan padaku.
“Cessa? Kembaran Beni?” Robi menanyaiku sok akrab.
“Seperti yang lho denger. Gue duluan.” Aku melangkahkan kaki menuju kelas desainer yang bersatu menjadi satu gedung dengan jurusan arsitek dan kesenian. Kesenian yang kumaksud adalah melukis. Aku juga tidak jarang mengikuti kelas itu, karena aku sangat senang menggambar. Bahkan, desain kamar, aku yang buat. Rumah ala keraton itu memang dibuat ketika aku dan Beni sekolah di Paris, jaman SMP dulu.
“Assalamualaikum Cessa?” sapa Syifa yang sudah mensejajari langkahku. “Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Aku tersenyum ramah, dia yang mengajariku menjawab salam dengan lengkap. Katanya, jangan pelit ngedoain orang karena salam itu doa.
“Baru berangkat ya?” Tanya Syifa sambil memainkan kerudung hitamnya. Kami sama, menyukai warna hitam putih. Aku tau saat masa ospek, setiap peserta harus memakai kaos kaki sesuai warna kesukaannya, dan aku melihat dia memakai sama sepertiku. Dia juga suka mendesain, tapi baju muslim bukan sepertiku yang lebih ke pakaian biasa tapi sopan.
“Iya Fa. Lho juga?” tanyaku sambil duduk di depan kelas menunggu dosen datang.
“Aku udah lama Ces. Tapi dijalan, dihadang sama Beni, playboy kampus itu.” Syifa terlihat sebal, kalau Beni tau dia pasti akan sedikit kecewa. Tapi kalian taukan? Lelaki akan semakin berjuang kalau sudah ditolak.
“Dia gangguin lho?” aku sedikit memancing Syifa, ingin tau seberapa besar Beni sudah pdkt dengan gadis arab di depanku ini.
“Nggak kok. Dia sopan sama aku, tapi aku sedikit nggak suka kalau lihat dia dideketin sama cewek dan malah ditanggapi.” Syifa bercerita ria tanpa memperhatikan sekitar, sebenarnya Beni berdiri di samping kami dengan seorang cowok yang tidak aku kenal.
“Gue masih berusaha berubah Syif, lho harus nunggu gue.” Beni berkata dengan wajah sendunya.
“Eh?” Syifa tidak mengerti, apa Beni menyukainya? Dia jadi bingung sendiri. “Ces, ini guru privat lho.” Beni menunjuk lelaki di sampingnya. Tunggu… tunggu… Guru privat? Apa maksudnya? Seingatku, aku tidak meminta guru privat?
“Maksud lho?” tanyaku dengan wajah bloon.

“Papi yang nyuruh nyariin. Katanya, biar lho lebih bisa arsiteknya.” Jawab Beni tanpa beban. Terasa terkena petir di siang hari, ini awal penderitaan bagiku. Melihat gurunya saja sudah membuatku bosan. Dia tidak tersenyum sama sekali, wajahnya sedingin es di kutub utara. bersambung...